Prof. Dr.-Eng. Ir. Adi Maulana, ST. M.Phil.
Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin

Terjadinya bencana alam di beberapa wilayah di Indonesia di tengah pandemi Covid-19 membuat penanganan bencana menjadi semakin berat dan membutuhkan tingkat koordinasi yang tinggi.  Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai institusi pusat dan dibantu oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di setiap daerah, menjadi leading sector yang dituntut untuk bekerja lebih keras dalam menangani multibencana (bencana alam di tengah Covid-19) ini. Sudah barang tentu bukan perkara mudah, mengingat untuk menangani bencana alam biasa yang sudah merupakan rutinitas saja, BNPB masih belum bisa bekerja secara maksimal akibat berbagai kekurangan yang dimilikinya baik dari segi sarana dan pra sarana. BNPB sangat membutuhkan dukungan dari semua stakeholders, agar penanganan multibencana ini bisa maksimal.

Negara kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah yang luas dan memanjang di wilayah khatulistiwa. Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia serta dua samudera yaitu Pasifik dan Hindia dengan kondisi alam yang memiliki berbagai keunggulan terutama keberadaan berbagai macam sumberdaya alam. Namun di sisi lainnya, Kepulauan Indonesia juga berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana alam dengan tingkat intensitas yang cukup tinggi. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya tingkat pengetahuan atau literasi akan bencana dari sebagian besar masyarakatnya. Hal ini menyebabkan faktor kebencanaan memerlukan penanganan yang sistematis, terpadu, dan terkoordinasi.

Definisi Bencana

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Undang-undang tersebut selanjutnya mengklasifikasikan bencana ke dalam 3 (tiga) jenis, yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

Bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena alam, letusan gunung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/ lahan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa/benda-benda angkasa. Bencana non-alam antara lain kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia, kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan. Bencana sosial antara lain berupa kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam masyarakat yang sering terjadi.

Indonesia dalam perspektif bencana

Kepulauan Indonesia yang disusun oleh ribuan pulau terbentuk dari hasil interaksi setidaknya 3 lempeng besar penyusun bumi, yaitu lempeng Eurasia disebelah barat, Lempeng India-Australia di sebelah selatan dan Lempeng Pasifik di sebelah timur (Maulana, 2019). Lempeng Eurasia cenderung bergerak menuju ke arah timur sedangkan Lempeng Indo- Australia bergerak relative menuju ke arah utara. Pergerakan lempeng India-Australia ini mengakibatkan bertemunya lempeng ini dengan lempeng Eurasia yang kemudian membentuk suatu zona tunjaman yang dikenal dengan istilah zona subduksi. Adanya interaksi tiga lempeng besar ini menyebabkan Indonesia juga dilewati oleh beberapa struktur geologi yang besar yang menyebabkan terjadinya gempa besar atau yang sering disebut dengan megathrust. Terdapat 16 zona mega thrust yang ada di Indonesia, menyebar dari utara pulau Sumatera sampai dengan utara pulau Papua. Megathrust ini telah dikenal sejak ratusan tahun lalu dan mempunyai riwayat menghasilkan gempa besar yang disertai dengan tsunami raksasa dengan tinggi gelombang mencapai 10-30 meter. Dengan potensi gempa bumi yang mencapai skala 8 hingga 9 Magnitudo, megathrust menjadi momok menakutkan bagi kita yang tinggal di Indonesia terutama di sekitar wilayah pesisir. Masih melekat di ingatan kita bagaimana megathrust Aceh menyebabkan gempa dengan magnitude sampai dengan 9 dan tsunami dengan tinggi mencapai 30 meter dengan total korban jiwa mencapai 150.000 orang.

Selain itu, zona pertemuan tiga lempeng ini juga menghasilkan suatu jajaran gunungapi memanjang dari ujung utara Pulau Sumatera, menerus ke Pulau Jawa sampai dengan Nusa Tenggara dan juga di utara Pulau Sulawesi dan Maluku sampai dengan Halmahera. Jajaran gunungapi aktif ini kemudian dikenal dengan istilah cincin api Pasifik atau Ring of Fire, terdiri dari127 gunung api aktif yang dapat meletus sewaktu-waktu. Saat ini, tiga gunung berstatus siaga dan 18 gunung berstatus waspada. Status tersebut menunjukkan adanya peningkatan aktivitas vulkanik, bahkan bisa berlanjut dengan letusan atau erupsi.

Gunung-gunung yang berstatus siaga di antaranya Gunung Agung di Bali, Gunung Sinabung di Sumatera Utara, dan Gunung Karangetang di Sulawesi Utara. Erupsi atau letusan yang paling banyak terjadi di Gunung Agung, yakni sebanyak 69 kali dalam kurun waktu 2018-2019. Lima gunung diklasifikasikan berstatus waspada yang mengeluarkan erupsi dalam satu tahun terakhir yaitu antara lain Gunung Bromo di Jawa Timur, Gunung Kerinci di Jambi, Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Gunung Merapi di Jawa Tengah, dan Gunung Semeru di Jawa Timur. Untuk tahun 2020 ini saja, Gunung Semeru telah meletus 17 kali dan Gunung Anak Krakatau tercatat sebanyak 9 kali. Gunung Merapi pun mencatatkan semburan awan panas khas nya di awal tahun ini. Indonesia menjadi negara dengan sejarah letusan gunung api terbesar di dunia. Erupsi gunung api terbesar di Indonesia tercatat pernah terjadi di Tambora (1815) dengan skala Volcanic Explosivity Index (VEI) 7, mendekati skala tertinggi 8. Selanjutnya, di Gunung Krakatau (1883) dengan skala VEI 6, serta Gunung Galunggung (1822) dan Gunung Agung (1963) dengan skala VEI 5.

Secara geografis, Indonesia juga terletak pada wilayah ekuator, yang disebut dengan garis khatulistiwa. Letak negara khatulistiwa juga menyebabkan wilayah Indonesia memiliki kondisi iklim tropis yang khas dengan musim hujan dan kemarau yang sama panjang. Pada saat kondisi iklim global berpengaruh terhadap iklim di Indonesia, maka perubahan musim dapat menjadi pemicu terjadinya bencana banjir, angin puting beliung, kekeringan, dan kebakaran hutan. Bencana ini disebut dengan bencana alam hidrometereologis. Iklim tropis memiliki curah hujan yang cukup tinggi, yang memudahkan terjadinya pelapukan pada tanah, membuat kondisi struktur pada tanah tidak stabil sehingga resiko terjadinya tanah longsor menjadi semakin besar. Berdasarkan laporan dari BNPB, sekitar 60% wilayah Indonesia merupakan wilayah yang berpotensi untuk terjadi bencana alam dan hampir sekitar 120 juta orang yang hidup diwilayah tersebut dapat dikatakan rentan menjadi korban dari bencana alam tersebut.

Kondisi diatas memberikan gambaran bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kerawanan bencana alam yang sangat tinggi di dunia. Ironis nya, kejadian bencana alam tersebut semakin intensif dengan trend yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 1).

Gambar 1. Trend kejadian bencana 10 tahun terakhir (BNPB, 2020)
Gambar 1. Trend kejadian bencana 10 tahun terakhir (BNPB, 2020)
Bencana Covid-19

Pemerintah telah menentapkan wabah Covid-19 sebagai bencana nasional. Hal ini di dasari oleh penetapan status Covid-19 oleh WHO sebagai pandemi pada tanggal 12 Maret 2020. Ada tiga kriteria umum sebuah penyakit dikatakan sebagai pandemi. Pertama, virus dapat menyebabkan penyakit atau kematian. Kedua, penularan virus dari orang ke orang terus berlanjut tak terkontrol. Ketiga, virus telah menyebar ke hampir seluruh dunia. Tercatat ada beberapa penyakit pandemi yang paling mematikan sepanjang sejarah seperti cacar, campak, tipus, flu spanyol, black death, HIV/AIDS. Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat mencatat, pandemi merupakan epidemi yang menyebar ke beberapa negara atau benua dan memengaruhi masyarakat dalam jumlah besar. Istilah pandemi sendiri dikenal dalam dunia epidemiologi atau ilmu yang mempelajari pola penyebaran penyakit. Dalam kamus epidemiologi, wabah menjadi bagian paling kecil dalam penularan penyakit. Meningkat dari wabah, epidemi menandakan jangkauan penyebaran penyakit yang lebih luas disertai penularan yang terjadi dengan cepat. Epidemi bisa berubah menjadi endemi yang umumnya menyerang satu negara, wilayah, atau benua. Epidemi terjadi di satu lingkungan terbatas atau negara saja sedangkan dikatakan sebagai sebuah pandemi apabila kejadiannya dijumpai diseluruh dunia atau beberapa benua.

Covid-19 dan bencana alam

Berdasarkan catatan dari gugus tugas Covid-19, kasus positif pertama yang di deteksi terjadi pada awal Maret 2020. Selanjutnya laju peningkatan kasus positif Covid-19 di minggu awal tumbuh secara eksponensial dan sudah mencapai angka 50 di 12 hari pertama. Data yang diperoleh dari gugus tugas Covid-19 per 4 Mei 2020, tercatat sebanyak 11, 587 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19, sebanyak lebih dari 8300 orang dikategorikan sebagai pasien dalam perawatan dan orang yang sembuh sebanyak 1954 serta korban yang meninggal sebanyak 864. Pusat penularan yang tadinya terkonsentrasi di daerah Jabodetabek, kini sudah relatif menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, walaupun sebaran kasus masih di dominasi oleh daerah dengan jumlah populasi penduduk yang padat serta tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi yaitu di kota-kota besar di pulau Jawa dan kota Makassar di Sulawesi Selatan. Dengan kondisi sosial, ekonomi serta budaya masyarakat Indonesia, diprediksi puncak Covid-19 pada akhir Mei atau awal Juni yang bisa mencapai angka 90 ribu kasus positif. Namun kondisi tersebut dapat berubah menjadi lebih buruk lagi apabila himbauan dari pemerintah berupa social distancing, pemakian masker dan penundaan mudik tidak berjalan efektif. Adanya penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) oleh pemerintah diharapkan mampu menekan laju penyebaran Covid-19 ini. Pemerintah melalui BNPB optimis kasus Covid-19 akan mengalami penurunan pada bulan Juni dan seterusnya. 

Di waktu yang sama, data dari BNPB menunjukkan bahwa telah telah terjadi sekitar 1.188 bencana alam sampai dengan 29 April 2020. Kejadian bencana di dominasi oleh bencana banjir yang diikuti oleh bencana angin puting beliung dan tanah longsor di beberapa wilayah di Indonesia. Bencana banjir meliputi 437 kejadian, angin puting beliung sebanyak 355, dan tanah longsor sebanyak 267. Kejadian bencana yang lain tercatata yaitu 119 kebakaran hutan dan lahan sebanyak 119, gempa bumi besar sebanyak 4 kali, gunung berapi sebanyak tiga letusan, dan dua gelombang pasang dan abrasi, serta satu kejadian kekeringan. Akibat kejadian bencana, sebanyak 169 orang meninggal dan delapan orang dilaporkan hilang. Bencana juga menyebabkan 1.859.589 orang mengungsi dan 231 orang luka-luka. Selain itu bencana hingga telah menyebabkan 17.085 rumah rusak, sedangkan fasilitas umum yang rusak mencapai 569 unit, dengan perincian 267 fasilitas pendidikan, 283 fasilitas ibadah, dan 19 fasilitas kesehatan. Bencana juga menyebabkan 58 fasilitas perkantoran dan 161 jembatan rusak.

Data di atas menunjukkan bahwa kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam ini sangat signifikan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apabila gempa bumi disertai tsunami, letusan gunungapi, banjir, kebakaran hutan, tanah longsor terjadi secara bersamaan di masa pandemi ini.

Strategi penanganan multi bencana

Harus diakui bahwa tidak ada negara yang siap untuk menghadapi bencana Covid-19 ini. Berbeda dengan jenis bencana lainnya, dalam sejarah dunia modern (setidaknya setelah perang dunia ke-2) belum ada negara yang mempunyai pengalaman dalam penanganan pandemi seperti Covid-19. Kasus pandemi sebelumnya seperti SAR dan flu babi relatif dapat dikontrol karena penyebarannya hanya terbatas pada daerah-daerah tertentu. Kurang nya informasi tentang Covid-19 menyebabkan hampir semua negara terlihat gagap dalam menghadapinya. Kecuali negara-negara seperti Taiwan, Singapura and Vietnam, hampir semua negara besar mengalami permasalahan dalam penanganan pandemi ini. Tidak terkecuali dengan Indonesia, dengan segala keterbatasannya terus mencoba untuk berjuang mengatasi penyebaran virus. Beberapa pengamat dan ahli menyatakan bahwa Indonesia sedang berada di fase pertumbuhan secara eksponensial yang ditandai dengan pertumbuhan kasus positif dan banyaknya kasus local transmit yang terdata di beberapa daerah. Laporan dari beberapa daerah yang menerapkan kebijakan PSBB menunjukkan banyak pelanggaran yang bermuara kepada tidak efektif nya kebijakan ini.

Setali tiga uang, penanganan bencana baik itu bencana alam termasuk hidrometeorologi juga masih meninggalkan beberapa persoalan. Kurangnya upaya-upaya mitigatif membuat penanganan kedua jenis bencana ini menjadi terkesan sangat sporadis. Ancaman terjadinya korban yang besar akibat terjadinya multibencana (terjadinya bencana alam di tengah Covid-19) sudah di depan mata apabila pemerintah dibantu dengan semua stakeholders (masyarakat, perguruan tinggi, dunia industri, media) tidak memiliki strategi dalam menghadapinya.

Sudah bisa dipastikan bahwa konsentrasi penanganan bencana dimasa pandemi ini di fokuskan untuk Covid-19. Semua sumberdaya, baik itu finansial, sumberdaya manusia sampai dengan kebijakan difokuskan untuk mengatasi pandemi.

Kita tentu saja terus berharap, bahwa bencana alam besar seperti gempa bumi, banjir dan letusan gunungapi tidak akan terjadi, setidaknya dalam waktu dekat ini. Namun hal tersebut tentu saja bukan merupakan jaminan, karena tidak ada mekanisme satupun di dunia ini untuk menghentikan terjadinya bencana alam, terutama gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api serta kebakaran hutan yang memang berpotensi besar terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Minimnya tingkat literasi bencana dari masyarakat kita menambah tingkat kerentanan dan dampak multibencana ini. Dalam situasi normal tanpa pandemi, bencana alam selalu meninggalkan elegi atau nada duka yang panjang bagi masyarakat penyintas.

Oleh karena itu diperlukan sebuah strategi khusus yang diharapkan mampu mengatasi dampak dari terjadinya multibencana terutama di daerah yang menjadi episentrum Covid-19 sekaligus merupakan daerah rawan bencana alam.

Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu antara lain 1) Penguatan institusi pemerintah; 2) Penataan logistic dan infrastruktur; 3) Perekrutan atau pengerahan relawan; 4) Penyediaan tempat evakuasi dan penampungan sementara (shelter); 5) Peningkatan kesiapsiagaan individu.

Berikut penjelasan singkat tentang strategi penanganan multibencana.

  1. Penguatan institusi pemerintah
    Pemerintah pusat maupun daerah sudah dipastikan melakukan refocussing semua sumber daya yang ada untuk mengatasi Covid-19. Namun, pemerintah pusat harus terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya agar bersiap untuk menghadapi terjadinya bencana alam. BNPB dan BPBD harus terus berkoordinasi dengan Lembaga pemerintah lainnya yang mempunyai fasilitas untuk deteksi dini bencana seperti BMKG, BIG dan PMVBAG. Lembaga penelitian maupun institusi Pendidikan tinggi juga merupakan pihak yang harus diikutsertakan untuk menguatkan institusi pemerintah dalam penanganan multibencana. Mekanisme koordinasi harus lebih ditingkatkan sehingga peringatan dini bisa lebih diandalkan untuk keperluan mitigasi, terutama di daerah-daerah langganan bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, letusan gunungapi dan tsunami. Flexibilitas penggunaan dana desa dalam menghadapi multibencana harus dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi transparansi dan pengawasan. Fungsi dan peran Lembaga RT, RW dan lurah sangat vital dalam kondisi menghadapi multibencana. RT dan RW sebagai ujung tombak pelayanan publik mempunyai ikatan yang kuat yang dapat digunakan sebagai agen pemerintah dalam upaya penanganan multibencana di masyarakat sampai level paling kecil. Diharapkan dengan koordinasi yang kuat, penanganan multibencana bisa semakin cepat dan tepat, sehingga kalaupun bencana alam terjadi, korban bisa diminimalkan karena upaya mitigasi telah dilakukan.
  2. Penataan logistik dan infrastruktur
    Salah satu sifat karakteristik dari bencana alam yaitu sifatnya yang merusak infrastruktur, baik itu infrastruktur transportasi maupun komunikasi. Akibatnya, kerap kali disetiap bencana terjadi kelangkaan logistik yang disebabkan oleh terputusnya jaringan transportasi dan komunikasi yang berujung pada tidak adanya pasokan bahan makanan atau logistik serta bahan bakar minyak (BBM). Kondisi ini menyebabkan penderitaan yang dialami oleh korban akan semakin sulit dan pada umumnya mengakibatkan terjadinya kepanikan, penjarahan, bahkan munculnya tindakan kriminal lainnya. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memastikan bahwa penataan rantai pasok logistik dan infrastruktur di daerah yang rawan bencana telah tertata dengan baik. Prosedur operasional baku atau standar operating procedure (SOP) keadaan tanggap darurat telah tersedia di daerah-daerah rawan bencana. SOP ini juga ikut memastikan bahwa komunikasi pihak-pihak yang bertanggungjawab tetap bisa lancar sehingga upaya-upaya penanganan bencana bisa efektif dan efesien.
  3. Perekrutan atau pengerahan relawan
    Dapat dipahami bahwa ditengah kondisi pandemi ini, perekrutan atau pengerahan relawan akan sangat terbatas. Masing-masing individu pasti berfikir keras untuk menjadi relawan ditengah pandemi. Namun, kondisi ini bisa dialihkan dengan melakukan perekrutan melalui daring atau online recruitment. Relawan-relawan ini kemudian diberikan training atau pelatihan secara online yang free dilengkapi dengan sertifikat tentang bagaimana penanganan multibencana, dari materi pra bencana, tanggap darurat sampai dengan materi pasca bencana. Diharapkan training ini akan meningkatkan kompetensi dan kesiapan mereka ketika terjadi multibencana. Para relawan juga akan berperan dalam mengkomunikasikan hal-hal penting terkait bencana seperti tata cara evakuasi, keberadaan dapur umum dan lain-lain. Langkah perekrutan relawan ini sangat penting dilakukan terutama di daerah-daerah yang dipetakan termasuk dalam wilayah yang rawan bencana. Kehadiran relawan akan sangat dibutuhkan dalam semua siklus bencana.
  4. Penyediaan tempat evakuasi dan penampungan sementara
    Langkah ini akan sangat penting bagi daerah-daerah yang rawan bencana, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api dan banjir maupun bencana hidrometeorologi seperti kebakaran hutan. Untuk memutus penyebaran Covid-19, salah satu Langkah yang efektif adalah dengan cara social distancing atau jaga jarak. Dalam hal terjadi bencana alam, penyediaan tempat evakuasi dan penampungan yang sesuai dengan protocol Covid-19 menjadi sangat penting. Hotel-hotel, penginapan dan asrama milik pemerintah maupun swasta yang dalam masa pandemi ini kosong, harus dipersiapkan sebagai tempat evakuasi bagi korban bencana alam. Fasilitas-fasilitas pemerintah yang mampu mengakomodir masyarakat dalam jumlah besar dengan tetap mengikuti protokol Covid-19 seperti social distancing harus segera dipersiapkan.
  5. Peningkatan kesiapsiagaan individu
    Dalam masa pandemi Covid-19 yang membatasi pergerakan sosial secara besar, sangat penting untuk selalu meningkatkan kesiapsiagaan individu. Salah satunya adalah terus update dengan informasi-informasi penting melalui perangkat komunikasi dengan memonitoring informasi melalui situs-situs berita dari sumber yang terpercaya. Penting untuk terus memonitoring informasi dari institusi yang diberikan kewenangan oleh pemerintah dalam menyebarluaskan informasi tentang bencana agar terhindar dari berita hoax. Selain itu, informasi juga bisa di dapatkan dari ketua RT dan RW setempat sehingga penting untuk selalu berkoordinasi dengan aparat pemerintah di semua level.

Pada akhirnya diperlukan Kerjasama yang terkoordinasi dari semua stakeholders yang ada terutama di wilayah dengan tingkat kerawanan bencana alam dan tingkat penyebaran Covid-19 yang tinggi. Pemerintah dituntut untuk transparan dan adil dalam memberikan informasi tentang kondisi multibencana dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak ke masyarakat. Masyarakat pun diminta untuk proaktif untuk meningkatkan kepedulian terhadap multibencana. Peran serta perguruan tinggi juga sangat vital untuk terus memberikan hasil-hasil penelitian yang bermanfaat dalam penanganan multibencana. Dunia industri dan media massa juga mempunyai peran yang penting dalam upaya penanganan multibencana. Perbedaan penanganan antara bencana alam dan Covid-19 membuat strategi yang diambil harus terstruktur, sistematis dan massif. Semua pihak diminta untuk saling membantu sesuai dengan porsi dan kompetensinya masing-masing. Kita berdoa dengan tulus dan penuh pengharapan agar tidak ada lagi elegi di tengah pandemi, semoga Allah SWT, Tuhan yang maha Kuasa mencabut pandemi ini dan kehidupan bisa kembali ke kondisi normal. Aaamin.

Sumber: